-->

Suku Badui Pahlawan 'Arab Revolt' yang Terlupakan

Perjuangan Kemerdekaan Arab (Arab Revilt) 1916–1918 menjadi tonggak sejarah yang mengguncang Kekaisaran Ottoman, yang mulai melemah dalam geopolitik global usai Perang Dunia I membuka jalan bagi impian kemerdekaan Arab dan belakangan Turki serta beberapa negara di Eropa, Asia dan Afrika, yang pernah menjadi wilayah Ottoman.

Suku-suku Badui seperti Bani Sakhr, Howeitat, Annazeh (Annaza) dan Ruwallah memainkan peran penting dalam perjuangan ini. Dengan keberanian dan penguasaan medan gurun, mereka mendukung pasukan Sharif Hussein dalam serangan terhadap garnisun Ottoman, termasuk penyerbuan strategis di Aqaba dan pawai menuju Damaskus. Namun, ironisnya, setelah Suriah merdeka pada 1946, suku-suku pahlawan ini justru tersisih dari panggung politik dan sosial negara yang mereka bantu bebaskan khusunya era Inggris dan Perancis yang justru mengambil keuntungan besar.

Pada awal abad ke-20, suku-suku Badui adalah kekuatan tempur yang tak tergantikan. Berbekal keterampilan berkuda dan taktik gerilya, mereka menjadi tulang punggung Arab Revolt. Pemimpin seperti Auda Abu Tayi dari suku Howeitat menjadi legenda karena memimpin serangan bersejarah di Aqaba pada 1917. Bersama pasukan Faisal bin Hussein, suku-suku ini menghancurkan jalur kereta api Hijaz, melemahkan logistik Ottoman di wilayah tersebut.

Mimpi kemerdekaan Arab yang dijanjikan Inggris kepada suku-suku ini pupus setelah Perang Dunia I. Perjanjian Sykes-Picot 1916 dan Konferensi San Remo 1920 membagi Timur Tengah antara Inggris dan Prancis. Suriah jatuh di bawah mandat Prancis, mengkhianati harapan suku-suku untuk negara Arab merdeka. Pemerintahan sementara Faisal di Damaskus (1918–1920), yang didukung beberapa suku, dihentikan paksa melalui invasi oleh Prancis setelah Pertempuran Maysalun pada 1920.

Di bawah mandat Prancis, suku-suku Badui kehilangan pengaruh politik mereka. Prancis menerapkan strategi *divide et impera*, memberikan otonomi kepada minoritas seperti Alawite dan Druze, tetapi mengabaikan suku-suku nomaden yang berjasa. Wilayah Badui dianggap sulit dikendalikan karena gaya hidup mereka yang berpindah-pindah. Akibatnya, kekuasaan beralih ke elit perkotaan di Damaskus, Aleppo, dan Homs, yang lebih terorganisir dalam struktur administratif modern.

Suku-suku Badui tidak memiliki representasi kuat dalam badan-badan politik yang dibentuk Prancis. Elit nasionalis dari keluarga borjuis seperti Atasi, Quwatli, dan Azm mendominasi wacana politik. Meskipun beberapa suku di Hauran turut dalam Great Syrian Revolt (1925–1927) melawan Prancis, kekalahan pemberontakan ini semakin melemahkan posisi mereka. Pemimpin seperti Sultan al-Atrash dari Druze mendapat perhatian, tetapi suku-suku Arab tetap di pinggiran.

Ketika Suriah merdeka pada 1946, sistem politik negara-bangsa modern tidak mengakomodasi struktur suku. Pemerintahan di bawah Presiden Shukri al-Quwatli dan Partai Nasional berfokus pada sentralisasi kekuasaan di kota-kota besar. Suku-suku Badui, dengan gaya hidup nomaden dan struktur sosial terdesentralisasi, tidak memiliki tempat dalam sistem politik formal ini. Partai politik dan parlemen menjadi domain elit perkotaan.

Modernisasi ekonomi di Suriah pasca-kemerdekaan juga merugikan suku-suku Badui. Kebijakan agrarian dan pengembangan lahan pertanian mengurangi wilayah penggembalaan tradisional mereka. Banyak suku kehilangan mata pencaharian karena perubahan sosial-ekonomi yang mengutamakan urbanisasi. Wilayah gurun yang dulu menjadi kekuatan mereka kini dianggap terbelakang oleh pemerintah modern.

Kurangnya organisasi politik formal menjadi faktor utama marginalisasi suku-suku ini. Berbeda dengan Alawite, yang kemudian mendominasi militer Suriah, suku-suku Badui tidak memiliki partai atau serikat untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Pemimpin suku yang karismatik, seperti dari Howeitat atau Ruwallah, hanya memiliki pengaruh lokal dan tidak mampu bersaing dengan elit nasionalis di tingkat nasional.

Pengkhianatan terhadap janji Arab Revolt memperparah kekecewaan suku-suku ini. Mereka berjuang untuk negara Arab merdeka, tetapi hasilnya adalah kolonialisme Eropa dan pemerintahan yang tidak mewakili mereka. Rasa tidak percaya ini membuat suku-suku semakin menarik diri dari politik nasional, fokus pada kelangsungan hidup lokal mereka.

Sementara itu, kelompok minoritas seperti Alawite dan Druze yang sebelumnya hanya ongkang-ongkang kaki justru mendapat keuntungan di era mandat. Prancis memberikan otonomi kepada Alawite melalui “Negara Alawite” (1920–1936), dan banyak anggota komunitas ini bergabung dengan militer. Druze juga memiliki peran penting dalam pemberontakan anti-Prancis, meningkatkan visibilitas politik mereka dibandingkan suku-suku Badui.

Pada 1960-an, Alawite mulai mendominasi politik Suriah melalui militer, terutama setelah kudeta yang membawa keluarga Assad berkuasa pada 1970. Suku-suku Badui, sebaliknya, tetap terisolasi dari pusat kekuasaan. Bahkan ketika nasionalisme Arab mengemuka di bawah Partai Ba’ath, suku-suku ini tidak diintegrasikan ke dalam struktur politik baru. Padahal Suku Badui-lah orang Arab asli di Suriah. Sementara suku-suku keturunan tentara Salib di masa lalu yang menikmati negara.

Struktur sosial suku-suku Badui, yang berbasis pada ikatan kekerabatan dan otonomi lokal, tidak selaras dengan visi negara-bangsa modern. Pemerintah Suriah mengutamakan sistem birokrasi terpusat, mengesampingkan peran pemimpin suku tradisional. Akibatnya, suku-suku ini kehilangan relevansi politik di tengah perkembangan institusi modern seperti parlemen dan angkatan bersenjata.

Perubahan demografi juga mempercepat marginalisasi suku-suku Badui. Urbanisasi yang pesat mendorong migrasi dari pedesaan ke kota, melemahkan struktur sosial tradisional suku. Banyak anggota suku muda meninggalkan gaya hidup nomaden untuk mencari pekerjaan di kota, yang secara bertahap mengikis identitas suku mereka.

Konflik antara suku dan petani menetap menjadi masalah tambahan. Pemerintah Suriah sering memihak petani dalam sengketa tanah, membatasi ruang gerak suku-suku Badui. Beberapa suku bahkan dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas karena kebiasaan mereka yang dianggap “tidak teratur” oleh pemerintah.

Kontribusi suku-suku Badui dalam Arab Revolt jarang diakui dalam narasi resmi sejarah Suriah modern. Buku-buku sejarah nasional lebih menonjolkan peran elit nasionalis perkotaan, seperti Shukri al-Quwatli, daripada perjuangan suku-suku di gurun. Hal ini mencerminkan bias urban dalam penulisan sejarah Suriah.

Kurangnya akses pendidikan juga memperburuk posisi suku-suku ini. Berbeda dengan kelompok perkotaan yang memiliki akses ke sekolah dan peluang ekonomi, komunitas Badui sering terisolasi dari sistem pendidikan modern. Hal ini membatasi kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam politik nasional.

Beberapa suku Badui mencoba beradaptasi dengan bergabung dalam angkatan bersenjata atau administrasi lokal. Namun, tanpa dukungan politik yang kuat, upaya ini tidak cukup untuk mengembalikan pengaruh mereka. Pemimpin suku yang tersisa lebih sering berperan sebagai tokoh adat lokal daripada aktor politik nasional.

Warisan suku-suku Badui dalam Arab Revolt tetap menjadi catatan sejarah yang kurang dihargai. Keberanian mereka dalam melawan Ottoman tidak diterjemahkan menjadi kekuasaan atau pengakuan di Suriah modern. Sebaliknya, mereka menjadi korban perubahan politik dan sosial yang mengutamakan sentralisasi dan urbanisasi.

Keterpinggiran suku-suku ini mencerminkan tantangan yang dihadapi komunitas tradisional dalam menghadapi modernisasi. Struktur suku yang dulu menjadi kekuatan di gurun tidak mampu bersaing dengan dinamika politik modern. Akibatnya, pahlawan Arab Revolt ini terlupakan di tengah pembangunan negara-bangsa Suriah.

Sebelum Bashar Al Assad tumbang, suku-suku Badui tetap hidup di pinggiran masyarakat Suriah, dengan pengaruh yang terbatas pada wilayah lokal mereka. Kisah mereka adalah pengingat pahit bahwa mereka yang berjuang untuk kemerdekaan tidak selalu mendapat tempat dalam sejarah atau kekuasaan yang mereka bantu wujudkan.

Setelah Assad lengser, Suku Badui mulai berbahagia saat Presiden Ahmed Al Sharaa naik menjadi pemimpin. Berbagai artikel menyebut Al Sharaa merupakan bagian dari Suku Arab Badui dari klan Annazeh (Annaza) yang dulu berjuang mendirikan Suriah.

Suku lain

Komunitas suku Al-Bagara (atau Al-Baqqara) dan Al-Uqaydat (atau Al-Aqidat) di Suriah merupakan bagian dari suku-suku Badui Arab yang signifikan di wilayah timur, terutama di provinsi Deir ez-Zor. Seperti suku-suku Badui lainnya yang telah dibahas sebelumnya, kedua suku ini tidak memiliki keterlibatan langsung atau signifikan dalam Arab Revolt melawan Kekaisaran Ottoman pada 1916–1918. Arab Revolt lebih didominasi oleh suku-suku di wilayah selatan seperti Howeitat, Bani Sakhr, Annazeh dan Ruwallah, yang berbasis di Hijaz, Transjordan, dan Suriah selatan. Suku Al-Bagara dan Al-Uqaydat, yang berlokasi di timur Suriah dekat perbatasan Irak, cenderung terisolasi secara geografis dan fokus pada urusan lokal selama era Ottoman, seperti perdagangan dan penggembalaan di sepanjang Sungai Efrat.

Meskipun demikian, suku-suku ini menunjukkan dukungan simbolis terhadap gerakan nasionalis Arab awal, termasuk Arab Revolt, melalui kontak tidak langsung dengan pemimpin seperti Faisal bin Hussein. Namun, tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan partisipasi militer aktif mereka dalam serangan gerilya atau kampanye utama seperti penyerbuan Aqaba atau pembebasan Damaskus. Lokasi mereka di Deir ez-Zor, yang lebih terintegrasi dalam administrasi Ottoman timur, membuat mereka menghindari konflik besar untuk menjaga otonomi lokal. Selama Perang Dunia I, Ottoman bahkan memberikan subsidi kepada suku-suku seperti ini untuk menjaga loyalitas mereka, meskipun ketegangan pajak dan wajib militer sering memicu pemberontakan kecil.

Pasca-Ottoman, suku Al-Bagara dan Al-Uqaydat justru memainkan peran lebih menonjol dalam transisi kekuasaan di Suriah timur. Setelah Ottoman mundur pada 1918, anggota suku Al-Bagara, seperti Fadel Al-Aboud dari klan Abdulkarim, memimpin pembentukan pemerintahan sementara di Deir ez-Zor. Mereka membentuk "Pemerintahan Haj Fadel" untuk menjaga keamanan dan mencegah kekacauan pasca-kolonial, bekerja sama dengan pemimpin suku lain untuk melindungi penduduk dari penjarahan. Ini menunjukkan bagaimana suku-suku ini mengisi kekosongan kekuasaan sebelum mandat Prancis tiba, meskipun upaya mereka akhirnya digantikan oleh administrasi kolonial.

Suku Al-Uqaydat, sebagai salah satu suku terbesar di Mesopotamia menurut Max von Oppenheim, juga terlibat dalam dinamika lokal pasca-1918. Mereka mendukung pemerintahan Faisal di Damaskus secara tidak langsung melalui jaringan suku lintas batas dengan Irak, tetapi tidak bergabung secara massal dalam perjuangan militer. Sebaliknya, suku ini fokus pada pengelolaan sumber daya di wilayah gurun dan sungai, yang menjadi basis ekonomi mereka. Keterlibatan mereka lebih bersifat pragmatis, menjalin hubungan dengan kekuatan baru untuk mempertahankan pengaruh regional.

Di bawah mandat Prancis (1920–1946), suku Al-Bagara dan Al-Uqaydat mengalami marginalisasi serupa dengan suku Badui lainnya. Prancis menerapkan kebijakan divide et impera, memprioritaskan minoritas seperti Alawite dan Druze sambil mengabaikan suku-suku nomaden di timur. Wilayah Deir ez-Zor dianggap "tidak terkendali" karena mobilitas suku-suku ini, sehingga Prancis membatasi otonomi mereka melalui pajak tinggi dan pengawasan militer. Beberapa pemimpin suku, seperti dari Al-Bagara, sempat bekerja sama dengan Prancis untuk posisi administratif, tetapi secara keseluruhan, pengaruh politik mereka menurun karena kurangnya representasi di badan-badan kolonial.

Meskipun tidak terlibat dalam Great Syrian Revolt 1925–1927 secara utama, suku Al-Uqaydat memberikan dukungan sporadis melalui intelijen dan logistik di wilayah timur. Namun, kekalahan pemberontakan ini semakin memperlemah posisi suku-suku Badui, termasuk Al-Bagara, yang kehilangan akses ke tanah penggembalaan akibat reformasi agraria Prancis. Elit perkotaan di Damaskus dan Aleppo mulai mendominasi narasi nasionalis, meninggalkan suku-suku timur di pinggiran. Pemimpin suku seperti Nawaf Ragheb Al-Bashir dari Al-Bagara kemudian bergabung dengan Partai Ba'ath untuk mendapatkan manfaat, tetapi ini lebih merupakan adaptasi daripada kekuasaan sejati.

Setelah kemerdekaan Suriah pada 1946, suku Al-Bagara dan Al-Uqaydat menghadapi tantangan lebih besar dalam negara-bangsa modern. Sistem politik sentralisasi di bawah elit Sunni perkotaan, seperti Shukri al-Quwatli, tidak mengakomodasi struktur suku tradisional. Suku-suku ini, dengan ikatan kekerabatan dan otonomi lokal, dianggap kurang relevan di era partai politik dan birokrasi. Modernisasi ekonomi, termasuk irigasi dan pertanian di Lembah Efrat, mengurangi wilayah nomaden mereka, memaksa banyak anggota suku bermigrasi ke kota atau bergabung dengan militer untuk bertahan hidup.

Di era Ba'ath (1963–sekarang), suku Al-Bagara awalnya mendapat posisi di pemerintahan melalui rekrutmen ke intelijen dan militer, tetapi ini sering kali dimanfaatkan untuk mengontrol suku daripada memberdayakan mereka. Pemimpin seperti Nawaf al-Bashir sempat mendukung rezim Assad, tetapi banyak anggota suku bergabung dengan oposisi pada 2011, menunjukkan perpecahan internal. Suku Al-Uqaydat, yang memiliki jaringan lintas batas kuat, sering terlibat dalam konflik perbatasan dengan Irak, tetapi pengaruh nasional mereka tetap terbatas karena bias urban dalam kebijakan pemerintah.

Faktor utama marginalisasi suku-suku ini mirip dengan suku Badui lainnya: kurangnya organisasi politik formal. Mereka tidak memiliki partai atau serikat untuk bersaing dengan elit nasionalis, sehingga kekuasaan beralih ke kelompok seperti Alawite yang mendominasi militer. Urbanisasi pesat di Suriah juga mengikis gaya hidup nomaden, dengan banyak pemuda suku Al-Bagara dan Al-Uqaydat pindah ke kota untuk pekerjaan, melemahkan struktur tradisional.

Selain itu, konflik dengan petani menetap atas sumber daya air dan tanah memperburuk posisi mereka. Pemerintah sering memihak kelompok menetap, menganggap suku Badui sebagai "masalah stabilitas". Dalam sejarah resmi Suriah, kontribusi mereka pasca-Ottoman jarang diakui, dengan narasi lebih menekankan peran kota-kota besar. Hal ini mencerminkan pengkhianatan janji kemerdekaan Arab Revolt, di mana suku-suku timur merasa ditinggalkan oleh elit yang mengambil alih kekuasaan.

Pada era perang sipil Suriah (2011–2024), suku Al-Uqaydat menjadi aktor kunci di timur, terlibat dalam pemberontakan melawan SDF (Syrian Democratic Forces) yang didominasi Kurdi pada 2023. Dipimpin oleh tokoh seperti Ibrahim al-Hifl, mereka menentang pengaruh AS dan Kurdi, merebut wilayah di Deir ez-Zor sebelum berdamai. Suku Al-Bagara juga mendukung pemberontakan awal melawan SDF, meskipun kemudian berdamai, menunjukkan pragmatisme mereka. Namun, ini justru memperkuat persepsi marginalisasi, karena dukungan AS kepada SDF dianggap pengkhianatan terhadap suku Arab.

Dalam konteks modern, suku-suku ini mulai terlibat dalam dewan suku khususnya setelah Kurdi dan Druze menguat dengan dukungan AS dan Israel.

Druze mulai pembersihan etnis kepada suku Badui dan ingin mendirikan negara khusus Druze, SDF Kurdi juga menekan warga Arab. Hal itu membuat suku-suku Arab mulai bangkit memberikan perlawanan.

Secara keseluruhan, suku Al-Bagara dan Al-Uqaydat mewakili pola yang sama dengan suku Arab Revolt lainnya: kontribusi historis yang diikuti marginalisasi karena perubahan struktural. Isolasi geografis, kurangnya adaptasi politik, dan prioritas negara modern membuat mereka tetap di pinggiran, meskipun tetap vital dalam dinamika regional Timur Tengah. 

Share
Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.

LATEST ARTICLES