-->

Wisata

Suku Badui Pahlawan 'Arab Revolt' yang Terlupakan

Perjuangan Kemerdekaan Arab (Arab Revilt) 1916–1918 menjadi tonggak sejarah yang mengguncang Kekaisaran Ottoman, yang mulai melemah dalam geopolitik global usai Perang Dunia I membuka jalan bagi impian kemerdekaan Arab dan belakangan Turki serta beberapa negara di Eropa, Asia dan Afrika, yang pernah menjadi wilayah Ottoman.

Suku-suku Badui seperti Bani Sakhr, Howeitat, Annazeh (Annaza) dan Ruwallah memainkan peran penting dalam perjuangan ini. Dengan keberanian dan penguasaan medan gurun, mereka mendukung pasukan Sharif Hussein dalam serangan terhadap garnisun Ottoman, termasuk penyerbuan strategis di Aqaba dan pawai menuju Damaskus. Namun, ironisnya, setelah Suriah merdeka pada 1946, suku-suku pahlawan ini justru tersisih dari panggung politik dan sosial negara yang mereka bantu bebaskan khusunya era Inggris dan Perancis yang justru mengambil keuntungan besar.

Pada awal abad ke-20, suku-suku Badui adalah kekuatan tempur yang tak tergantikan. Berbekal keterampilan berkuda dan taktik gerilya, mereka menjadi tulang punggung Arab Revolt. Pemimpin seperti Auda Abu Tayi dari suku Howeitat menjadi legenda karena memimpin serangan bersejarah di Aqaba pada 1917. Bersama pasukan Faisal bin Hussein, suku-suku ini menghancurkan jalur kereta api Hijaz, melemahkan logistik Ottoman di wilayah tersebut.

Mimpi kemerdekaan Arab yang dijanjikan Inggris kepada suku-suku ini pupus setelah Perang Dunia I. Perjanjian Sykes-Picot 1916 dan Konferensi San Remo 1920 membagi Timur Tengah antara Inggris dan Prancis. Suriah jatuh di bawah mandat Prancis, mengkhianati harapan suku-suku untuk negara Arab merdeka. Pemerintahan sementara Faisal di Damaskus (1918–1920), yang didukung beberapa suku, dihentikan paksa melalui invasi oleh Prancis setelah Pertempuran Maysalun pada 1920.

Di bawah mandat Prancis, suku-suku Badui kehilangan pengaruh politik mereka. Prancis menerapkan strategi *divide et impera*, memberikan otonomi kepada minoritas seperti Alawite dan Druze, tetapi mengabaikan suku-suku nomaden yang berjasa. Wilayah Badui dianggap sulit dikendalikan karena gaya hidup mereka yang berpindah-pindah. Akibatnya, kekuasaan beralih ke elit perkotaan di Damaskus, Aleppo, dan Homs, yang lebih terorganisir dalam struktur administratif modern.

Suku-suku Badui tidak memiliki representasi kuat dalam badan-badan politik yang dibentuk Prancis. Elit nasionalis dari keluarga borjuis seperti Atasi, Quwatli, dan Azm mendominasi wacana politik. Meskipun beberapa suku di Hauran turut dalam Great Syrian Revolt (1925–1927) melawan Prancis, kekalahan pemberontakan ini semakin melemahkan posisi mereka. Pemimpin seperti Sultan al-Atrash dari Druze mendapat perhatian, tetapi suku-suku Arab tetap di pinggiran.

Ketika Suriah merdeka pada 1946, sistem politik negara-bangsa modern tidak mengakomodasi struktur suku. Pemerintahan di bawah Presiden Shukri al-Quwatli dan Partai Nasional berfokus pada sentralisasi kekuasaan di kota-kota besar. Suku-suku Badui, dengan gaya hidup nomaden dan struktur sosial terdesentralisasi, tidak memiliki tempat dalam sistem politik formal ini. Partai politik dan parlemen menjadi domain elit perkotaan.

Modernisasi ekonomi di Suriah pasca-kemerdekaan juga merugikan suku-suku Badui. Kebijakan agrarian dan pengembangan lahan pertanian mengurangi wilayah penggembalaan tradisional mereka. Banyak suku kehilangan mata pencaharian karena perubahan sosial-ekonomi yang mengutamakan urbanisasi. Wilayah gurun yang dulu menjadi kekuatan mereka kini dianggap terbelakang oleh pemerintah modern.

Kurangnya organisasi politik formal menjadi faktor utama marginalisasi suku-suku ini. Berbeda dengan Alawite, yang kemudian mendominasi militer Suriah, suku-suku Badui tidak memiliki partai atau serikat untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Pemimpin suku yang karismatik, seperti dari Howeitat atau Ruwallah, hanya memiliki pengaruh lokal dan tidak mampu bersaing dengan elit nasionalis di tingkat nasional.

Pengkhianatan terhadap janji Arab Revolt memperparah kekecewaan suku-suku ini. Mereka berjuang untuk negara Arab merdeka, tetapi hasilnya adalah kolonialisme Eropa dan pemerintahan yang tidak mewakili mereka. Rasa tidak percaya ini membuat suku-suku semakin menarik diri dari politik nasional, fokus pada kelangsungan hidup lokal mereka.

Sementara itu, kelompok minoritas seperti Alawite dan Druze yang sebelumnya hanya ongkang-ongkang kaki justru mendapat keuntungan di era mandat. Prancis memberikan otonomi kepada Alawite melalui “Negara Alawite” (1920–1936), dan banyak anggota komunitas ini bergabung dengan militer. Druze juga memiliki peran penting dalam pemberontakan anti-Prancis, meningkatkan visibilitas politik mereka dibandingkan suku-suku Badui.

Pada 1960-an, Alawite mulai mendominasi politik Suriah melalui militer, terutama setelah kudeta yang membawa keluarga Assad berkuasa pada 1970. Suku-suku Badui, sebaliknya, tetap terisolasi dari pusat kekuasaan. Bahkan ketika nasionalisme Arab mengemuka di bawah Partai Ba’ath, suku-suku ini tidak diintegrasikan ke dalam struktur politik baru. Padahal Suku Badui-lah orang Arab asli di Suriah. Sementara suku-suku keturunan tentara Salib di masa lalu yang menikmati negara.

Struktur sosial suku-suku Badui, yang berbasis pada ikatan kekerabatan dan otonomi lokal, tidak selaras dengan visi negara-bangsa modern. Pemerintah Suriah mengutamakan sistem birokrasi terpusat, mengesampingkan peran pemimpin suku tradisional. Akibatnya, suku-suku ini kehilangan relevansi politik di tengah perkembangan institusi modern seperti parlemen dan angkatan bersenjata.

Perubahan demografi juga mempercepat marginalisasi suku-suku Badui. Urbanisasi yang pesat mendorong migrasi dari pedesaan ke kota, melemahkan struktur sosial tradisional suku. Banyak anggota suku muda meninggalkan gaya hidup nomaden untuk mencari pekerjaan di kota, yang secara bertahap mengikis identitas suku mereka.

Konflik antara suku dan petani menetap menjadi masalah tambahan. Pemerintah Suriah sering memihak petani dalam sengketa tanah, membatasi ruang gerak suku-suku Badui. Beberapa suku bahkan dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas karena kebiasaan mereka yang dianggap “tidak teratur” oleh pemerintah.

Kontribusi suku-suku Badui dalam Arab Revolt jarang diakui dalam narasi resmi sejarah Suriah modern. Buku-buku sejarah nasional lebih menonjolkan peran elit nasionalis perkotaan, seperti Shukri al-Quwatli, daripada perjuangan suku-suku di gurun. Hal ini mencerminkan bias urban dalam penulisan sejarah Suriah.

Kurangnya akses pendidikan juga memperburuk posisi suku-suku ini. Berbeda dengan kelompok perkotaan yang memiliki akses ke sekolah dan peluang ekonomi, komunitas Badui sering terisolasi dari sistem pendidikan modern. Hal ini membatasi kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam politik nasional.

Beberapa suku Badui mencoba beradaptasi dengan bergabung dalam angkatan bersenjata atau administrasi lokal. Namun, tanpa dukungan politik yang kuat, upaya ini tidak cukup untuk mengembalikan pengaruh mereka. Pemimpin suku yang tersisa lebih sering berperan sebagai tokoh adat lokal daripada aktor politik nasional.

Warisan suku-suku Badui dalam Arab Revolt tetap menjadi catatan sejarah yang kurang dihargai. Keberanian mereka dalam melawan Ottoman tidak diterjemahkan menjadi kekuasaan atau pengakuan di Suriah modern. Sebaliknya, mereka menjadi korban perubahan politik dan sosial yang mengutamakan sentralisasi dan urbanisasi.

Keterpinggiran suku-suku ini mencerminkan tantangan yang dihadapi komunitas tradisional dalam menghadapi modernisasi. Struktur suku yang dulu menjadi kekuatan di gurun tidak mampu bersaing dengan dinamika politik modern. Akibatnya, pahlawan Arab Revolt ini terlupakan di tengah pembangunan negara-bangsa Suriah.

Sebelum Bashar Al Assad tumbang, suku-suku Badui tetap hidup di pinggiran masyarakat Suriah, dengan pengaruh yang terbatas pada wilayah lokal mereka. Kisah mereka adalah pengingat pahit bahwa mereka yang berjuang untuk kemerdekaan tidak selalu mendapat tempat dalam sejarah atau kekuasaan yang mereka bantu wujudkan.

Setelah Assad lengser, Suku Badui mulai berbahagia saat Presiden Ahmed Al Sharaa naik menjadi pemimpin. Berbagai artikel menyebut Al Sharaa merupakan bagian dari Suku Arab Badui dari klan Annazeh (Annaza) yang dulu berjuang mendirikan Suriah.

Suku lain

Komunitas suku Al-Bagara (atau Al-Baqqara) dan Al-Uqaydat (atau Al-Aqidat) di Suriah merupakan bagian dari suku-suku Badui Arab yang signifikan di wilayah timur, terutama di provinsi Deir ez-Zor. Seperti suku-suku Badui lainnya yang telah dibahas sebelumnya, kedua suku ini tidak memiliki keterlibatan langsung atau signifikan dalam Arab Revolt melawan Kekaisaran Ottoman pada 1916–1918. Arab Revolt lebih didominasi oleh suku-suku di wilayah selatan seperti Howeitat, Bani Sakhr, Annazeh dan Ruwallah, yang berbasis di Hijaz, Transjordan, dan Suriah selatan. Suku Al-Bagara dan Al-Uqaydat, yang berlokasi di timur Suriah dekat perbatasan Irak, cenderung terisolasi secara geografis dan fokus pada urusan lokal selama era Ottoman, seperti perdagangan dan penggembalaan di sepanjang Sungai Efrat.

Meskipun demikian, suku-suku ini menunjukkan dukungan simbolis terhadap gerakan nasionalis Arab awal, termasuk Arab Revolt, melalui kontak tidak langsung dengan pemimpin seperti Faisal bin Hussein. Namun, tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan partisipasi militer aktif mereka dalam serangan gerilya atau kampanye utama seperti penyerbuan Aqaba atau pembebasan Damaskus. Lokasi mereka di Deir ez-Zor, yang lebih terintegrasi dalam administrasi Ottoman timur, membuat mereka menghindari konflik besar untuk menjaga otonomi lokal. Selama Perang Dunia I, Ottoman bahkan memberikan subsidi kepada suku-suku seperti ini untuk menjaga loyalitas mereka, meskipun ketegangan pajak dan wajib militer sering memicu pemberontakan kecil.

Pasca-Ottoman, suku Al-Bagara dan Al-Uqaydat justru memainkan peran lebih menonjol dalam transisi kekuasaan di Suriah timur. Setelah Ottoman mundur pada 1918, anggota suku Al-Bagara, seperti Fadel Al-Aboud dari klan Abdulkarim, memimpin pembentukan pemerintahan sementara di Deir ez-Zor. Mereka membentuk "Pemerintahan Haj Fadel" untuk menjaga keamanan dan mencegah kekacauan pasca-kolonial, bekerja sama dengan pemimpin suku lain untuk melindungi penduduk dari penjarahan. Ini menunjukkan bagaimana suku-suku ini mengisi kekosongan kekuasaan sebelum mandat Prancis tiba, meskipun upaya mereka akhirnya digantikan oleh administrasi kolonial.

Suku Al-Uqaydat, sebagai salah satu suku terbesar di Mesopotamia menurut Max von Oppenheim, juga terlibat dalam dinamika lokal pasca-1918. Mereka mendukung pemerintahan Faisal di Damaskus secara tidak langsung melalui jaringan suku lintas batas dengan Irak, tetapi tidak bergabung secara massal dalam perjuangan militer. Sebaliknya, suku ini fokus pada pengelolaan sumber daya di wilayah gurun dan sungai, yang menjadi basis ekonomi mereka. Keterlibatan mereka lebih bersifat pragmatis, menjalin hubungan dengan kekuatan baru untuk mempertahankan pengaruh regional.

Di bawah mandat Prancis (1920–1946), suku Al-Bagara dan Al-Uqaydat mengalami marginalisasi serupa dengan suku Badui lainnya. Prancis menerapkan kebijakan divide et impera, memprioritaskan minoritas seperti Alawite dan Druze sambil mengabaikan suku-suku nomaden di timur. Wilayah Deir ez-Zor dianggap "tidak terkendali" karena mobilitas suku-suku ini, sehingga Prancis membatasi otonomi mereka melalui pajak tinggi dan pengawasan militer. Beberapa pemimpin suku, seperti dari Al-Bagara, sempat bekerja sama dengan Prancis untuk posisi administratif, tetapi secara keseluruhan, pengaruh politik mereka menurun karena kurangnya representasi di badan-badan kolonial.

Meskipun tidak terlibat dalam Great Syrian Revolt 1925–1927 secara utama, suku Al-Uqaydat memberikan dukungan sporadis melalui intelijen dan logistik di wilayah timur. Namun, kekalahan pemberontakan ini semakin memperlemah posisi suku-suku Badui, termasuk Al-Bagara, yang kehilangan akses ke tanah penggembalaan akibat reformasi agraria Prancis. Elit perkotaan di Damaskus dan Aleppo mulai mendominasi narasi nasionalis, meninggalkan suku-suku timur di pinggiran. Pemimpin suku seperti Nawaf Ragheb Al-Bashir dari Al-Bagara kemudian bergabung dengan Partai Ba'ath untuk mendapatkan manfaat, tetapi ini lebih merupakan adaptasi daripada kekuasaan sejati.

Setelah kemerdekaan Suriah pada 1946, suku Al-Bagara dan Al-Uqaydat menghadapi tantangan lebih besar dalam negara-bangsa modern. Sistem politik sentralisasi di bawah elit Sunni perkotaan, seperti Shukri al-Quwatli, tidak mengakomodasi struktur suku tradisional. Suku-suku ini, dengan ikatan kekerabatan dan otonomi lokal, dianggap kurang relevan di era partai politik dan birokrasi. Modernisasi ekonomi, termasuk irigasi dan pertanian di Lembah Efrat, mengurangi wilayah nomaden mereka, memaksa banyak anggota suku bermigrasi ke kota atau bergabung dengan militer untuk bertahan hidup.

Di era Ba'ath (1963–sekarang), suku Al-Bagara awalnya mendapat posisi di pemerintahan melalui rekrutmen ke intelijen dan militer, tetapi ini sering kali dimanfaatkan untuk mengontrol suku daripada memberdayakan mereka. Pemimpin seperti Nawaf al-Bashir sempat mendukung rezim Assad, tetapi banyak anggota suku bergabung dengan oposisi pada 2011, menunjukkan perpecahan internal. Suku Al-Uqaydat, yang memiliki jaringan lintas batas kuat, sering terlibat dalam konflik perbatasan dengan Irak, tetapi pengaruh nasional mereka tetap terbatas karena bias urban dalam kebijakan pemerintah.

Faktor utama marginalisasi suku-suku ini mirip dengan suku Badui lainnya: kurangnya organisasi politik formal. Mereka tidak memiliki partai atau serikat untuk bersaing dengan elit nasionalis, sehingga kekuasaan beralih ke kelompok seperti Alawite yang mendominasi militer. Urbanisasi pesat di Suriah juga mengikis gaya hidup nomaden, dengan banyak pemuda suku Al-Bagara dan Al-Uqaydat pindah ke kota untuk pekerjaan, melemahkan struktur tradisional.

Selain itu, konflik dengan petani menetap atas sumber daya air dan tanah memperburuk posisi mereka. Pemerintah sering memihak kelompok menetap, menganggap suku Badui sebagai "masalah stabilitas". Dalam sejarah resmi Suriah, kontribusi mereka pasca-Ottoman jarang diakui, dengan narasi lebih menekankan peran kota-kota besar. Hal ini mencerminkan pengkhianatan janji kemerdekaan Arab Revolt, di mana suku-suku timur merasa ditinggalkan oleh elit yang mengambil alih kekuasaan.

Pada era perang sipil Suriah (2011–2024), suku Al-Uqaydat menjadi aktor kunci di timur, terlibat dalam pemberontakan melawan SDF (Syrian Democratic Forces) yang didominasi Kurdi pada 2023. Dipimpin oleh tokoh seperti Ibrahim al-Hifl, mereka menentang pengaruh AS dan Kurdi, merebut wilayah di Deir ez-Zor sebelum berdamai. Suku Al-Bagara juga mendukung pemberontakan awal melawan SDF, meskipun kemudian berdamai, menunjukkan pragmatisme mereka. Namun, ini justru memperkuat persepsi marginalisasi, karena dukungan AS kepada SDF dianggap pengkhianatan terhadap suku Arab.

Dalam konteks modern, suku-suku ini mulai terlibat dalam dewan suku khususnya setelah Kurdi dan Druze menguat dengan dukungan AS dan Israel.

Druze mulai pembersihan etnis kepada suku Badui dan ingin mendirikan negara khusus Druze, SDF Kurdi juga menekan warga Arab. Hal itu membuat suku-suku Arab mulai bangkit memberikan perlawanan.

Secara keseluruhan, suku Al-Bagara dan Al-Uqaydat mewakili pola yang sama dengan suku Arab Revolt lainnya: kontribusi historis yang diikuti marginalisasi karena perubahan struktural. Isolasi geografis, kurangnya adaptasi politik, dan prioritas negara modern membuat mereka tetap di pinggiran, meskipun tetap vital dalam dinamika regional Timur Tengah. 

Politik Suriah: Pertemuan Elite Mengukir Harapan

Politik Suriah kembali diwarnai dinamika menarik dengan pertemuan yang disebut-sebut sebagai titik balik penting.

Abdurrahman Mustafa, yang dikenal luas sebagai Ketua Pemerintah atau Perdana Menteri Sementara Suriah (SIG), telah melakukan kunjungan signifikan ke Damaskus, di mana ia diterima oleh Presiden Ahmed Al Sharaa. Pertemuan ini, yang diabadikan dalam sebuah cuitan oleh Mustafa, memicu beragam spekulasi dan harapan mengenai masa depan lanskap politik Suriah yang kompleks dan sering bergejolak.

Dalam cuitannya, Abdurrahman Mustafa mengungkapkan rasa terhormat atas pertemuannya dengan Presiden Ahmed Al Sharaa di Istana Rakyat di Damaskus. Kunjungan ini, di tengah riuhnya isu politik Suriah, menjadi sorotan utama. Istana Rakyat, sebagai simbol kekuasaan, menjadi saksi bisu diskusi yang diyakini akan membentuk arah baru bagi negara yang telah lama didera konflik.

Mustafa secara eksplisit menyebutkan bahwa pertemuan tersebut "produktif dan konstruktif" dalam membahas masa depan Suriah serta tantangan-tantangan krusial yang akan dihadapi pada tahap berikutnya. Frasa "produktif dan konstruktif" mengisyaratkan adanya dialog yang serius dan mungkin mencapai kesepahaman awal mengenai isu-isu penting yang selama ini memecah belah faksi-faksi di Suriah.

Dalam kesempatan tersebut, Mustafa memaparkan pengalamannya yang luas saat menjabat di Pemerintah Sementara Suriah. Presentasi ini bukan sekadar kilas balik, melainkan upaya untuk berbagi wawasan dan pelajaran dari periode sebelumnya. Pengalamannya diharapkan dapat memberikan perspektif berharga bagi kepemimpinan baru dalam menghadapi tantangan yang ada.

Di sisi lain, Presiden Ahmed Al Sharaa disebut-sebut mendengarkan dengan saksama visi dan rencana kerja yang akan datang. Cuitan Mustafa secara gamblang menyatakan bahwa visi Presiden Al Sharaa mencerminkan "pemahaman mendalam tentang kebutuhan rakyat Suriah dan tantangan yang harus diatasi." Pernyataan ini menunjukkan adanya keselarasan visi, atau setidaknya upaya untuk menciptakan kesan tersebut, antara kedua belah pihak.

Apa yang paling menarik perhatian Mustafa adalah tingkat perhatian Presiden Al Sharaa terhadap "detail terkecil" dan keinginannya untuk "mendengarkan semua pendapat." Sikap semacam ini, menurut Mustafa, merefleksikan "semangat tanggung jawab" yang dimiliki oleh Presiden. Pujian semacam ini dapat diartikan sebagai sinyal positif terhadap gaya kepemimpinan baru yang lebih inklusif dan responsif.

Pertemuan ini, bagi Mustafa, semakin memperkuat keyakinannya bahwa Suriah beruntung memiliki "kepemimpinan yang sadar dan memiliki kemauan nyata untuk membangun negara modern yang berdasarkan keadilan dan kesetaraan."

Pernyataan ini merupakan bentuk dukungan terbuka yang signifikan dari seorang tokoh yang sebelumnya berada di kubu oposisi terhadap rezim sebelumnya.

Narasi tentang "membangun negara modern yang berdasarkan keadilan dan kesetaraan" adalah kunci dalam cuitan Mustafa. Ini adalah bahasa yang kerap digunakan oleh faksi-faksi oposisi dan masyarakat internasional sebagai prasyarat untuk stabilitas jangka panjang di Suriah. Penggunaan frasa ini oleh Mustafa mengindikasikan kemungkinan pergeseran narasi politik yang lebih inklusif.

Akhir cuitan Mustafa diisi dengan harapan dan dukungan. "Kami berharap Suriah dan kepemimpinan baru mendapatkan semua keberhasilan di tahap krusial ini," tulisnya.

Pernyataan ini bukan sekadar basa-basi, melainkan ekspresi harapan yang tulus dari seorang tokoh yang memiliki pengaruh di kalangan tertentu di Suriah.

Mustafa juga menegaskan "dukungan kami untuk setiap upaya yang dilakukan demi mewujudkan aspirasi rakyat Suriah akan kebebasan, martabat, dan stabilitas." Ini merupakan penegasan kembali komitmen terhadap nilai-nilai yang selama ini diperjuangkan oleh banyak faksi dalam konflik Suriah, sekaligus sinyal bahwa upaya rekonsiliasi dapat bergerak ke arah yang lebih positif.

Pertemuan antara Abdurrahman Mustafa dan Presiden Ahmed Al Sharaa dapat dilihat sebagai langkah awal menuju rekonsiliasi yang lebih luas di Suriah.

Mustafa, sebagai figur penting di Pemerintah Sementara Suriah, mewakili sebagian dari oposisi yang mungkin kini mencari jalan politik untuk berkontribusi pada pembangunan kembali negara.

Implikasi politik dari pertemuan ini sangat besar. Jika dialog semacam ini terus berlanjut dan menghasilkan kesepahaman konkret, maka ini bisa menjadi fondasi bagi pembentukan pemerintahan yang lebih inklusif atau setidaknya mekanisme transisi yang diakui oleh berbagai pihak.

Ini akan menjadi terobosan signifikan setelah bertahun-tahun kebuntuan.

Di mata publik internasional, pertemuan ini juga mengirimkan sinyal penting. Jika faksi-faksi yang sebelumnya berlawanan dapat duduk bersama dan berdiskusi secara konstruktif tentang masa depan Suriah, maka ini bisa membuka peluang bagi dukungan internasional yang lebih besar, baik dalam bentuk bantuan kemanusiaan maupun upaya rekonstruksi.

Tentu saja, jalan menuju stabilitas penuh masih panjang dan berliku. Banyak faksi dan kelompok bersenjata lainnya yang perlu dilibatkan dalam proses perdamaian. Namun, langkah yang diambil oleh Abdurrahman Mustafa dan Presiden Ahmed Al Sharaa ini dapat menjadi preseden penting bagi dialog-dialog di masa mendatang.

Reaksi dari berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar Suriah, akan sangat menentukan. Apakah pertemuan ini akan disambut dengan optimisme atau skeptisisme masih harus dilihat. Namun, fakta bahwa pertemuan ini terjadi dan diungkapkan secara terbuka merupakan sebuah perkembangan yang patut dicermati.

Perubahan kepemimpinan di Suriah, seperti yang diindikasikan oleh pertemuan ini, menunjukkan adanya dinamika internal yang sedang berlangsung. Ini bisa menjadi kesempatan bagi restrukturisasi politik dan sosial yang diperlukan untuk mengatasi akar permasalahan konflik yang telah berkepanjangan.

Diskusi mengenai "masa depan Suriah" dan "tantangan yang harus dihadapi" mencakup aspek-aspek krusial seperti pemulihan ekonomi, rekonsiliasi sosial, dan pembentukan lembaga-lembaga yang lebih representatif. Ini adalah agenda berat yang membutuhkan komitmen dari semua pihak.

Pujian Mustafa terhadap "pemahaman mendalam" dan "perhatian pada detail" yang ditunjukkan oleh Presiden Al Sharaa mengisyaratkan potensi kepemimpinan yang lebih pragmatis dan berorientasi pada solusi. Ini adalah kualitas yang sangat dibutuhkan dalam upaya membangun kembali Suriah.

Terakhir, penekanan pada "kebebasan, martabat, dan stabilitas" adalah cerminan dari aspirasi rakyat Suriah yang mendalam. Jika kepemimpinan baru dapat memenuhi janji-janji ini melalui tindakan nyata, maka pertemuan ini bisa menjadi awal dari era baru yang lebih menjanjikan bagi Suriah.

Meskipun cuitan ini hanya sepenggal informasi, implikasinya bisa sangat besar. Ini menunjukkan adanya pergerakan di panggung politik Suriah, yang bisa mengarah pada dialog lebih lanjut dan, pada akhirnya, mungkin sebuah solusi yang lebih komprehensif untuk krisis yang telah berkecamuk selama lebih dari satu dekade.

Kondisi Suriah Terakhir

Berdasarkan informasi terbaru, Pemerintah Sementara Suriah (Syrian Interim Government - SIG) secara efektif telah dibubarkan atau lebih tepatnya, kekuasaannya telah dialihkan dan diintegrasikan ke dalam struktur pemerintahan transisi yang baru di Damaskus.

Berikut adalah garis waktu dan detail penting:

 * Jatuhnya Rezim Assad (Desember 2024): Setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024, terbentuklah pemerintah sementara/transisi di Damaskus yang dipimpin oleh Mohammed al-Bashir (dari Pemerintahan Penyelamat Suriah - SSG) dan kemudian Ahmed al-Sharaa sebagai presiden interim.

 * Aliansi dengan Pemerintahan Baru:

Pada 30 Januari 2025, Abdurrahman Mustafa, kepala SIG, menandatangani perintah untuk menyerahkan semua kekuasaan dan kadernya kepada pemerintah sementara di Damaskus. Ini mengindikasikan bahwa SIG tidak lagi beroperasi sebagai entitas pemerintahan yang terpisah dan independen, melainkan telah menyerahkan otoritasnya kepada pemerintah transisi yang baru.

 * Pembentukan Pemerintahan Transisi Baru: Pada 29 Maret 2025, pemerintahan transisi baru di Suriah secara resmi diumumkan dan dilantik, menggantikan "caretaker government" sebelumnya.

Pemerintahan baru ini dipimpin oleh Presiden Interim Ahmed al-Sharaa dan terdiri dari 23 menteri. Ini adalah pemerintahan pertama dalam periode transisi lima tahun.

Jadi, meskipun tidak ada pernyataan "pembubaran" secara langsung dalam pengertian formal yang ketat, SIG telah mengalihkan kekuasaannya dan mengintegrasikan diri ke dalam struktur pemerintahan transisi yang baru di Damaskus. Ini berarti SIG sebagai entitas pemerintahan yang terpisah, dengan kontrolnya di wilayah utara Suriah yang dikuasai Turki, tidak lagi berfungsi seperti sebelumnya.

Posisi AANES

Berikut adalah poin-poin penting mengenai status AANES:

 * Negosiasi Berkelanjutan: Delegasi dari AANES dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang merupakan sayap militernya, telah bertemu dengan pemerintah baru di Damaskus. Pertemuan-pertemuan ini bertujuan untuk mengintegrasikan institusi militer dan sipil wilayah otonom Suriah timur ke dalam struktur negara yang baru.

 * Perjanjian Awal: Ada kesepahaman awal, yang dikenal sebagai "perjanjian 10 Maret," antara Presiden Ahmed al-Sharaa dan Komandan SDF Mazloum Abdi. Pembicaraan yang sedang berlangsung pada bulan Juni 2025 berfokus pada implementasi perjanjian tersebut.

 * Fokus Integrasi: Negosiasi berpusat pada mekanisme inti untuk mengintegrasikan wilayah yang dikelola AANES ke dalam struktur negara, dengan kedua belah pihak menekankan persatuan nasional dan stabilitas sipil. Subkomite khusus akan dibentuk untuk menangani isu-isu termasuk integrasi administratif, layanan sipil, dan pengaturan keamanan.

 * Perbedaan Pandangan: Meskipun ada negosiasi, masih ada beberapa perbedaan pandangan. AANES dan SDF menginginkan sistem yang terdesentralisasi, sementara pemerintah di Damaskus masih menolak desentralisasi penuh. Selain itu, ada tantangan internal di dalam SDF dan AANES terkait posisi mereka terhadap perjanjian tersebut, serta pengaruh negara-negara eksternal seperti Turki.

 * Perwakilan dalam Pemerintah Baru:

Meskipun pemerintah transisi baru mencakup keragaman etnis dan agama, termasuk seorang Kurdi sebagai Menteri Pendidikan, belum ada perwakilan langsung dari AANES dalam kabinet.

AANES sendiri sebelumnya menyatakan tidak menganggap dirinya terikat oleh keputusan pemerintah baru ini karena merasa tidak terwakili secara adil.

 * Komitmen AANES: AANES menegaskan komitmennya terhadap Suriah yang terdesentralisasi dan demokratis, dan menyatakan tidak akan mengakui atau menerapkan keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak menjamin representasi yang adil bagi semua kelompok etnis dan agama.

Singkatnya, AANES tidak bubar, tetapi sedang dalam fase krusial negosiasi untuk menentukan perannya dalam Suriah yang baru pasca-Assad. Hasil dari negosiasi ini akan sangat menentukan struktur pemerintahan masa depan dan tingkat otonomi yang akan dimiliki wilayah yang saat ini dikuasai AANES.

BPKH Lirik Potensi Investasi Maskapai Penerbangan: Peluang dan Tantangan

Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) tengah menjajaki potensi investasi di sektor penerbangan dengan mempertimbangkan pendirian maskapai sendiri melalui anak usahanya atau melalui kemitraan dengan Islamic Development Bank (IsDB) melalui Aviation Platform Investment Fund (APIF). Langkah ini merupakan bagian dari upaya BPKH untuk diversifikasi investasi dan meningkatkan nilai manfaat dana haji.

APIF adalah sebuah dana yang dikelola oleh IsDB sebagai mudharib (pengelola aset). Dana ini dapat digunakan untuk membiayai pembangunan atau pengembangan properti wakaf melalui mekanisme keuangan syariah, serta pembiayaan untuk pembangunan wakaf real estat baru yang menghasilkan pendapatan untuk mendukung lembaga amal dan LSM. APIF juga bertujuan untuk menyebarkan budaya wakaf sebagai salah satu cara untuk mencapai keberlanjutan keuangan jangka panjang.

Keterlibatan BPKH dalam APIF dapat membuka peluang kemitraan strategis dengan IsDB, memperkokoh posisi BPKH di Dewan APIF, dan memberikan akses kepada Awqaf Board Arab Saudi. Akses ini dinilai sangat membantu dalam upaya BPKH untuk memiliki aset tidak bergerak di Tanah Suci. Selain itu, investasi ini juga diharapkan memberikan nilai manfaat dan lindung nilai alami (natural hedging) bagi dana haji.

Namun, rencana investasi ini masih terus dibahas secara mendalam karena mempertimbangkan risiko yang ada. Harga pesawat yang relatif mahal, mencapai Rp 3,5 triliun per unit, menjadi salah satu faktor yang perlu diperhitungkan dengan cermat. BPKH telah menerima proposal dari Garuda Indonesia terkait potensi kerja sama dalam pengadaan pesawat.

BPKH menargetkan dana kelolaan haji pada tahun ini mencapai kisaran Rp 110-Rp 150 triliun, dengan target manfaat sekitar Rp 6 triliun. Dengan dana kelolaan yang besar ini, BPKH memiliki potensi untuk menjadi pemain penting dalam sektor penerbangan Indonesia.

Investasi di sektor penerbangan dapat memberikan beberapa keuntungan bagi BPKH. Pertama, dapat meningkatkan nilai manfaat dana haji melalui pendapatan dari operasional maskapai. Kedua, dapat memberikan layanan yang lebih baik bagi jemaah haji dan umrah, terutama dalam hal transportasi. Ketiga, dapat memperkuat posisi BPKH sebagai lembaga keuangan syariah yang terkemuka.

Namun, investasi ini juga memiliki beberapa tantangan. Pertama, risiko bisnis di sektor penerbangan yang cukup tinggi. Kedua, kebutuhan investasi yang besar untuk pengadaan pesawat dan infrastruktur pendukung. Ketiga, persaingan yang ketat di industri penerbangan.

BPKH perlu melakukan studi kelayakan yang komprehensif untuk menilai potensi dan risiko investasi ini. Studi ini harus mencakup analisis pasar, proyeksi keuangan, dan penilaian risiko. BPKH juga perlu mempertimbangkan berbagai opsi kemitraan, termasuk dengan maskapai penerbangan yang sudah ada atau dengan lembaga keuangan syariah lainnya.

Selain itu, BPKH perlu memastikan bahwa investasi ini sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. BPKH dapat membentuk komite syariah yang independen untuk mengawasi proses investasi dan memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah.

Investasi BPKH di sektor penerbangan dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Dapat menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan konektivitas antar daerah, dan mendukung sektor pariwisata.

Pemerintah juga perlu memberikan dukungan bagi BPKH dalam investasi ini. Dukungan ini dapat berupa kemudahan perizinan, insentif fiskal, atau bantuan teknis.

Dengan perencanaan yang matang dan pengelolaan yang profesional, BPKH dapat memanfaatkan potensi investasi di sektor penerbangan untuk meningkatkan nilai manfaat dana haji dan memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi Indonesia.

Dibuat oleh AI

Jalur Kereta Api TAT Turkmenistan, Afghanistan dan Tajikistan Pending Terlalu Lama

Jalur Kereta Api lintas Asia Tengah khususnya TAT yang menjadi akronim untuk Turkmenistan, Afghanistan dan Tajikistan kini telah pending terlalu lama sejak digagas pada 2013 lalu.

Saat itu, Turkmenistan telah menunjukkan keseriusannya dengan proyek TAT dengan membangun jalur kereta ke perbatasan Afghanistan.

Namun Tajikistan membatalkan secara sepihak pembangunan jalur mereka ke Afghanistan karena jalur ke Uzbekistan sudah normal kembali.


Padahal, jalur kereta ke Uzbekistan merupakan satu-satunya jalur yang menghubungkan Tajikistan ke kuar negeri dan bisa kapan saja ditutup sebagaimana 30 tahun belakangan.

Jika Tajikistan ingin meningkatkan ekonominya maka jalur TAT harus dibangun tentu dengan menjalin hubungan yang baik dengan Afghanistan.

#PemudaBulanBintang Punya Relawan Milenial dan Gerakan Kawal Perjuangan #YusrilIhzaMahendra

ilustrasi
SIPOHOLON ONLINE -- Pemuda Bulan Bintang sebagai bagian dari Partai Bulan Bintang terus mengguliskan sejumlah program menghadapi Pileg2019.

Di antaranya adalah Relawan Milenial dan Gerakan Kawal Perjuangan Yusril Ihza Mahendra.

Berikut informasinya di ambil dari Facebook:

Lihat video dan Facebook



Top

Bisnis

Olahraga

Hotels